Senin, 22 September 2014

Ketentuan Islam tentang upah

Dalam kehidupan manusia, tidak semua orang dapat bekerja untuk dirinya sendiri, karena ketiadaan modal kerja, sehingga harus bekerja untuk orang lain. Pekerja untuk orang lain bukan suatu kekurangan karena Rasul pun sebelum diangkat menjadi Rasul adalah pengembala yang menadapatkan upah dari pekerjaannya sebagai penggembala kambing penduduk Mekah pada waktu itu, seperti yang terdapat dalam hadis berikut:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إلا رَعَى الْغَنَمَ فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لأَهْلِ مَكَّةَ [1]

Dari Abu Hurairah, Rasul bersabda: Allah tidak mengutus Rasul kecuali sebelumnya ia sebagai pengembala, sahabat bertanya Anda ya Rasul. Rasul menjawab: Aku mengembala kambing penduduk Mekah dengan upah beberapa qirath.

Dari hadis di atas diketahui bahwa bekerja untuk orang lain bukan pekerjaan yang tidak layak, bahkan Rasul sendiri sebelum bi’sah menjadi pekerja untuk orang lain. Pekerjaan yang dapat dilakukan untuk mendapatkan rizki Allah adalah dengan menggembalakan binatang ternak. Penggembala mengerahkan tenaga dan waktunya untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan makan dan minum binatang yang digembalakan.

Di negara kita sebagian besar rakyatnya merupakan tenaga kerja pada instansi pemerintah, yayasan, dan pabrik. Hal itu disebabkan karena tidak semua orang dapat menciptakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri.

Upah atau gaji harus dibayarkan sebagaimana yang diisyaratkan Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran: 57, bahwa setiap pekerjaan orang yang bekerja harus dihargai dan diberi upah/gaji. Tidak memenuhi upah bagi para pekerja adalah suatu kezaliman yang tidak disukai Allah.

Tidak ada alasan untuk tidak membayar upah apabila pekerjaan yang ditugaskan kepada pekerja telah selesai dikerjakannya. Bahkan dalam salah satu hadis qudsi orang yang tidak mau membayar upah dinyatakan sebagai musuh Allah sebagaimana dalah hadis berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ثَلاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ [2]

Abu Hurairah berkata bahwa Rasul bersabda firman Allah: ada tiga yang menjadi musuh Saya di hari kiamat, 1. Orang yang berjanji pada-Ku kemudian ia melanggarnya 2. Orang yang menjual orang merdeka lalu ia memakan hasil penjualannya 3. Orang yang mempekerjakan orang lain yang diminta menyelesaikan tugasnya, lalu ia tidak membayar upahnya

Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma dan Thabrani meriwayatkan dari Jabi radhiallahu ‘anhu serta Abu Ya’la juga meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.”

Para ulama telah menganggap bahwa menunda pembayaran gaji pekerja atau tidak memberikannya setelah pekerjaan diselesaikan, termasuk dosa besar berdasarkan ancaman yang sangat dahsyat ini. Karena, penundaan pembayaran dari orang yang kaya merupakan bentuk kezaliman, sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan ghashab. Di antara bentuk kezalimannya adalah tidak memberikan sama sekali hak-hak pekerja, sedang para pekerja tidak memiliki bukti. Bahkan, terkadang membebaninya dengan pekerjaan atau menambah waktu kerja (lembur), tapi hanya memberikan gaji pokok saja tanpa membayar pekerjaan tambahan atau waktu lembur dengan memanfaatkan momentum minimnya lowongan pekerjaan dan kelemahan pihak pekerja. Terkadang pula, terjadi penundaan pembayaran gaji dan tidak memberikannya kecuali dengan usaha keras para pekerja dengan tujuan agar para pekerja melepaskan haknya dan tidak menuntuk haknya kembali. Atau, ada yang bermaksud menggunakan upah pekerja tersebut untuk usahanya dan mengelolanya, sedangkan si pekerja yang miskin tersebut tidak memiliki bahan makanan untuk diri dan keluarganya.

Dari hadis di atas, terlihat bahwa Allah memusuhi semua orang yang menzalimi orang lain, namun dalam hadis ini ada penguatan terhadap tiga jenis praktek penzaliman (pelanggaran sumpah atas nama Allah; trafiking (penjualan orang), dan tidak membayar upah pekerja).[3] Penzaliman yang dilakukan dengan tidak membayar upah, karena jerih payah dan kerja kerasnya tidak mendapatkan balasan, dan itu sama dengan memakan harta orang lain secara tidak benar.

Hadis ini menjadi dalil bahwa upah merupakan hak bagi pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya. Sebagai pengimbang dari kewajibannya melakukan sesuatu, maka ia mendapatkan upah sesuai dengan yang telah disepakati bersama.

Pekerja atau orang yang mempekerjakan, sebelumnya harus membicarakan penentuan upah/gaji yang akan diterima oleh pekerja. Karena hal itu akan berpengaruh pada waktu pembayaran upah atau gaji. Besar upah/ gaji di negara kita baik di instansi pemerintah atau pabrik telah ditentukan besarnya upah/gaji yang akan diterima pekerja sekali gus waktu penerimaan upah/gaji, ada yang harian, mingguan, 2 mingguan dan ada yang bulanan.

Untuk mengetahui bagaimana Islam mengatur hal ini, upah yang diberikan oleh Rasul kepada para pekerja penduduk Khaibar adalah seperdua dari hasil yang diperoleh.[4] Upah tersebut bisa juga dengan cara memberikan sesuai dengan upah/gaji yang biasa sesuai dengan profesionalitas pekerja. Seperti gaji PNS ada standar untuk golongan dan jabatan tertentu. Begitu juga dengan gaji pekerja pabrik dan pegawai suatu yayasan atau honor di suatu perusahaan.

[1] al- Bukhari, juz 2, h. 849, Ibnu Majah, juz 2, h. 727.
[2] al- Bukhari, op.cit., juz 2, h. 853 dan Ibnu Majah, op.cit., juz 2, h. 816.
[3] al-Syaukani, op.cit., jilid 3, juz 6, h. 35 dan al-Kahlani, op.cit., juz 3, h. 80.
[4] al- Bukhari, op.cit., juz 2, h. 860.



Read more