Rabu, 14 Oktober 2009

LOMPATAN PARADIGMATIK

LOMPATAN PARADIGMATIK

PARADIGMA KUHN
A) LATAR BELAKANG PEMIKIRAN KUHN
Pandangan Kuhn tentang ilmu dan perkembangannya pada dasarnya merupakan respons terhadap pandangan neo positisvisme dan Popper. Proses verivikasi dan konfirmasi-eksperimentasi dari “bahasa ilmiah”, dalam pandangan Vienna Circle, merupakan langkah dan proses perkembangan ilmu, sekaligus sebagai garis pembeda antara apa yang disebut ilmu dengan yang bukan ilmu. Sementara pada Popper, proses perkembangan ilmu-yang menurutnya harus berkemungkinan mengandung salah- itu ,adalah proses yang disebut falsifikasi (proses eksperimentasi untuk membuktikan salah dari suatu teori ilmu) dan refutasi (penyangkalan teori).
Dua pandangan ini tampak seperti berbeda,terutama kriteria dari sesuatu yang disebut ilmiah. Namun sebenarnya keduanya memiliki persamaan, bahkan cukup fundamental. Keduanya jelas memiliki nuansa positivistik dan karenanya juga objektivitastik, yang cenderung memisahkan (dalam arti ada distingsi) antara ilmu dan unsur-unsur subjektifitas dari ilmuwan, keduannya juga memandang, proses perkembangan ilmu adalah dengan jalan linier-akumulasi dan eliminasi.
Kuhn menolak pandangan di atas (pemikiran positivistik-objektivitas dan proses evolusi, akumulasi, dan eliminasi dalam perkembangan ilmu). Kuhn memandang ilmu dari perspektif sejarah, dalam arti sejarah ilmu, suatu hal yang sebenarnya juga dilakukan Popper. Bedanya, Kuhn lebih mengekplorasi tema-tema yang lebih besar, misalnya apakah hakikat ilmu, baik dalam prakteknya yang nyata maupun dalam analisis konkrit dan empiris. Jika Popper menggunakan sejarah ilmu sebagai bukti untuk mempertahankan pendapatnya, Kuhn justru menggunakan sejarah ilmu sebagai titik tolak penyelidikannya. Baginya, filsafat ilmu harus berguru kepada sejarah ilmu, sehingga dapat memahami hakikat ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya.
B) PARADIGMA DAN KONSTRUKSI KOMUNITAS ILMIAH
Temuan-temuan Khun kemudian diterbitkan dalam karyanya The Structure of Scientific Revolutions, yang memang cukup mengguncang dominasi paradigma positivistic. Dalam bukunya itu, ia menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja di dalam pandangan dunia yang sudah mapan.
Menurut Thomas S. Kuhn, paradigma adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.Dengan memakai istilah “paradigma”, ia bermaksud mengajukan sejumlah contoh yang telah diterima tentang praktek ilmiah nyata termasuk di dalamnnya hukum Teori Aplikasi dan instrumentasi, yang menyediakan model-model, yang menjadi sumber komsistensi dari tradisi riset ilmiah tertentu.
Menurut Kuhn, tradisi-tradisi inilah yang oleh sejarah ditempatkan di dalam rubrik-ribrik seperti “Ptolemaic Astronomy” (ataucopernican), ”Aristotelian dynamic”
(atau Newtonian), “corpuscular optics” (atau wave optics) dan sebagainya.
Pandangan Kuhn ini telah membuat dirinya tampil sebagai prototype pemikir yang mendobrak keyakinan para ilmuwan yang bersifat positivistik. Pemikiran positivism memang lebih menggaris bawahi validitas hukum-hukum alam dan hukum sosial yang bersifat universal, yang dapat dibangun oleh rasio. Mereka kurang berminat untuk melihat faktor historis yang ikut berperan dalam aplikasi hukum-hukum yang dianggap sebagai universal tersebut.
Fokus pemikiran Kuhn ini memang menentang pendapat golongan realis yang mengatakan bahwa sains-fisika dalam sejarahnya berkembang melalui pengumpulan fakta-fakta bebas konteks. Sebaliknya ia menyatakan bahwa perkembangan sains berlaku melalui apa yang disebut paradigma ilmu.
Menurut Kuhn, paradigma ilmu adalah suatu keraangka teoritis, atau suatu cara memandang dan memahami alam, yang telah digunakan oleh sekelompok ilmuwan sebagai pandangan dunia (world view) nya. Paradigma ilmu berfungsi sebagai lensa yang melaluinya ilmuwan dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masing dan jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah tersebut.
Paradigma ilmu dapat dianggap sebagai suatu skema kognitif yang dimiliki bersama. Sebagaimana skema kognitif itu memberi kita, sebagai individu suatu cara untuk mengerti alam sekeliling, maka suatu paradigma ilmu memberi sekumpulan ilmuwan itu suatu cara memahami alam ilmiah. Bila seorang ilmuwan memperhatikan suatu fenomena dan menafsirkan apa makna pemerhatiannya itu, ilmuwan itu menggunakan suatu paradigma ilmu untuk memberi makna bagi pemerhatiannya itu. Kuhn menamakan sekumpulan ilmuwan yang telah memilih pandangan bersama tentang alam (yakni paradigma ilmu bersama) sebagai suatu “komunitas ilmiah”.
Istilah komunitas ilmiah bukan berarti sekumpulan ilmuwan yang bekerja dalam suatu tempat. Suatu komunitas ilmiah yang memiliki suatu paradigma bersama tentang alam ilmiah, memiliki kesamaan bahasa, nilai-nilai, asumsi-asumsi, tujuan-tujuan, norma-norma serta kepercayaan. Dengan begitu paradigma ilmu tidak lebih dari suatu konstruksi komunitas ilmiah, yang dengannya mereka membaca, menafsirkan, mengungkap dan memahami alam. Berdasarkan bukti dari sejarah ilmu, Kuhn menyimpulkan bahwa faktor non-matematis-positivistik, merupakan faktor penting dalam bangunan keilmuwan secara utuh. Dengan begitu, temuan ini memperkuat pemikiran bahwa sains bukannya value-neutral, seperti yang terjadi dalam pemecahan persoalan matematis, tetapi sebaliknya ilmu pengetahuan sesungguhnya adalah value laden, yang terkait dengan nilai sosio-kultural, budaya pertimbangan politik praktis dan sebagainya. Oleh sebab itu filsafat ilmu Kuhn disebut oleh kalangan positivis sebagai psychology of discovery, yang dibedakan dengan logic of discovery sebagaimana positivis.
Bagi Kuhn paradigma lah yang menentukan jenis-jenis eksperiment yang dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu, para ilmuwan bahkan tidak bisa mengumpulkan fakta. Dengan tiadanya calon paradigma tertentu, semua fakta yang mungkin sesuai dengan perkembangan ilmu tertentu tampak seakan sama-sama relevan. Akibatnya, pengumpulan fakta hampir semuanya merupakan aktifitas acak .
C) PROSES PERKEMBANGAN ILMU
Menurut Kuhn, proses perkembangan ilmu pengetahuan manusia tidak dapat terlepas sama sekali dari apa yang disebut –keadaan-“normal science” dan “revolutionary science”. Semua ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam texboook adalah termasuk dalam wilayah “sains normal”(normal science). Sains normal bermakna penyelidikan yang dibuat oleh suatu komunitas ilmiah dalam usahanya menafsirkan alam ilmiah melalui paradigma ilmiahnya.
Sains normal adalah usaha sungguh-sungguh dari ilmuwan untuk menundukkan alam masuk ke dalak kotak-kotak konseptual yang disediakan oleh paradigma ilmiah dan untuk menjelaskan , diumpamakan sains normal itu sebagai Sesuatu yang dapat menyelesaikan masalah teka-teki. Sebagaimana penyelasaian-penyelesaian masalah teka-teki yang menggunakan gambar pada kotak untuk membimbingnya dalam menyelesaikan teka-teki itu, maka suatu paradigma ilmiah memberi komunitas ilmiah suatu gambaran tentang bagaimana sepatutnya bentuk dunia ilmiah mereka , yang dengan begitu semua serpihan-serpihan penyelidikan ilmiah digabungkan satu sama lain.
Kemajuan sains normal diukur menurut banyaknya serpihan dari teka-teki yang dikumpulkan (yakni berapa banyak lingkungan ilmiah yang dapat diamati dan dipahami oleh komunitas ilmiah). Jadi pada dasarnnya, paradigma berkaiatan erat dengan sains normal.
Dalam wilayah “normal science” ada banyak persoalan yang tidak dapat terselesaikan atau terinkonsistensi. Hal ini oleh Kuhn disebut anomolies, keganjilan-kaganjilan, ketidaktepatan, ganjalan-ganjalan atau penyimpangan yang biasa terjadi dan dirasakan oleh para pelaksana di lapangan. Karena terkurung oleh rutinitas, para praktisi sering tidak menyadari adanya anomali yang melekat dalam wilayah “normal science”. Anomalies tidak dapat dipecahkan secara tuntas dalam wilayah “normal science”. Hanya kalangan peneliti serius, pengamat dan kritikus yang secara relatif mengetahui adanya anomalies tersebut . Mereka inilah para pelaku dari apa yang disebut sains luar biasa.
Suatu komunitas ilmiah mulai mengumpulkan data yang tidak sejalan dengan pandangan paradigma mereka dengan alam. Jika paradigma tidak sempurna, maka ini akan memasuki keadaan krisis. Usaha untuk menyelesaikan krisis adalah proses sains luar biasa. Krisis adalah suatu mekanisme koreksi diri yang memastikan bahwa kekakuan pada fase sains normal tidak akan berkelanjutan.
Jika anomolies yang kecil-kecil itu terakumulasi dan menjadi begitu akut dan suatu saat ditemukan penyelesaiannya oleh para ilmuwan. Artinya suatu komunitas ilmiah dapat menyelesaikan keadaan krisisnya dengan menyususn diri di sekeliling paradigma baru, maka oleh Kuhn ini dinamakan “revolusi sains” (revolutionary science).
Jika suatu komunitas ilmiah mengalami revolusi dan perputaran serupa gestalt, maka kemajuan penyelesaian taka-teki yang dicapai pada fase sains normal harus dinilai dari keadaan baru. Hingga mencapai suatu proses pergeseran paradigma (shifting paradigm), yaitu suatu proses dari keadaan “normal sains” ke wilayah “revolutionary science”. Mereka bekerja dalam paradigma umum dan dogmatis menggunakan sumber dayanya untuk menyempurnakan teorinya.
Suatu stabilitas dogmatis dapat diselingi oleh revolusi-revolusi yang sesekali terjadi. Kuhn menggambarkan bermulanya ilmu revolusioner secara gamblang: “Sains normal…sering menindas kebaruan-kebaruan fundamental karena mereka pasti bersifat subversif terhadap komitmen dasarnnya…(namun) ketika profesi tak bisa lagi mengelak dari anomali-anomali yang merongrong tridisi praktek ilmiah yang sudah ada …” , maka dimulaialah investigasi yang berada diluar kelaziman.
Suatu titik tercapai ketika krisis hanya bisa dipecahkan dengan revolusi di mana paradigma lama memberikan jalan bagi perumusan paradigma baru. Demikianlah “sains revolusioner” mengambil alih. Menurut Kuhn, Ilmu berkembang melalui siklus-siklus: sains normal diikuti oleh revolusi yang diikuti lagi oleh sains normal dan kemudian diikuti lagi revolusi. Setiap paradigma bisa menghasilkan sebuah karya khusus yang menentukan dan membentuk paradigma.
Thomas S. Kuhn berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah bersifat revolusioner, bukan komulatif sebagaimana anggapan sebelumnya. Revolusi ilmiah itu pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh prestasi atau praktik ilmiah konkret. Berikut ini merupakan gambaran paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah yang dapat dijelaskan melalui tahap-tahap sebagai berikut.
Tahap pertama, paradigm ini membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Di sini para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah para ilmuwan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya, ini dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.

Tahap kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap ketiga, para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang sama dengan memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.

PARADIGMA MERTON
Robert King Merton lahir di Philadelphia pada tahun 1910 dan wafat pada tahun 2003. Dilahirkan dari kelas pekerja, Merton merupakan imigran Yahudi Eropa Barat. Merton mendapatkan pendidikan di South Philadelphia High School, dan mendapatkan pengarahah serta memulai karir di bidang sosiologi di bawah asuhan George E. Simpson di Temple University pada tahun 1927 hingga 1931, dan Pitirim A. Sorokin di Harvard University pada tahun 1931 hingga 1936. Meskipun dalam bidang akademik Merton banyak menerima anugrah dari berbagai universitas di seluruh dunia, namun karir percintaan Merton tidaklah semulus karir akademiknya. Merton tercatat dua kali menikah dan memiliki tiga orang anak, salah satunya adalah penerima Nobel di bidang Ekonomi, Robert C. Merton.
Sewaktu kecil, Merton sering berkunjung ke Perpustakaan Carnegie yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Intensitas kedatangan Merton kecil inilah yang menarik perhatian George E. Simpson, dan kemudian menjadikan Merton sebagai asisten dalam berbagai riset yang dilakukannya. Sorokin menjadi pendorong utama bagi Merton untuk menyelesaikan studinya di Harvard, dan menjadikan Merton sebagai asisten utama dalam pengajaran dan penelitian. Tahun 1931, Merton lulus dari Temple College di Philadelphia dan langsung mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Harvard University. Tahun 1936, Merton mendapatkan gelar doktor setelah mempertahankan desertasinya di bawah bimbingan George Sarton dengan tema “Science, Technology, and Society in Seventeenth-century England”.
Merton banyak mengeksplorasi berbagai isu pada sekitar tahun 1930-an. Pada era itu, Merton lebih banyak memfokuskan pada konteks sosial dari sains dan teknologi, khususnya wilayah Inggris pada abad ke-17. Bidang kajian Merton semakin bertambah, di mana ia mulai mengeksplorasi berbagai tema seperti perilaku menyimpang, perilaku birokrasi, dan kompleksitas komunikasi pada masyarakat modern, dan semua itu ia laksanakan pada tahun 1940-an. Pada dasawarsa selanjutnya, Merton mengeksplorasi peran intelektual dalam birokrasi, unit dasar dari struktur sosial, peran dan status, hingga model dasar yang diadopsi oleh banyak orang sebagai sumber nilai dan basis untuk penilaian diri. Kajian Merton mengenai hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang mengherankan, mengingat ia hidup pada era di mana kajian fungsionalis ala Parson sedang menjadi trend, meskipun pada era 1960-an kajian fungsionalisme telah kehilangan momentum yang membuatnya happening pada masa lalu. Model-model fungsionalis-struktural yang dinisbahkan kepada Parson boleh jadi mencapai masa keemasan pada era Merton. Hal penting yang harus diperhatikan adalah fakta bahwa Merton dipengaruhi oleh Parson karena Merton merupakan salah satu murid Parson. Memang benar bahwa Merton tidak hanya dipengarhui oleh Parson, namun juga oleh P.A. Sorokin, L.J Henderson, E.F Gay, dan George Simmel.
Karir akademik Merton dapat dikatakan sangat bagus. Dari tahun 1936-1939 Merton menjadi pengajar di Harvard, tahun 1939-1941 menduduki posisi professor di Tulane University di New Orleans. Tahun 1941, Merton mengajar di Colombia University dan tetap berada di sana selama 38 tahun. Setelah pensiun pada tahun 1979-1984, Merton tetap aktif sebagai Special Service Proffessor, dan mengundurkan diri dari kegiatan mengajar pada tahun 1984. Sepanjang tahun itu hingga kematiannya tahun 2003, Merton lebih memfokuskan pada kegiatan di luar mengajar, di samping adanya fakta yang tidak dapat disangkal bahwa sepanjang hidupnya Merton telah mendapatkan gelar doktor kehormatan lebih dari 20 universitas di seluruh dunia.

A) REALITAS SOSIAL YANG MELAHIRKAN TEORI
Kehidupan Merton berada pada sebagian besar sejarah Amerika pada era awal abad 20, meskipun ia adalah seorang akademisi, namun Merton pun bersentuhan dengan kegiatan ekonomi dan politik. Merton merupakan contoh yang representatif dalam sejarah Amerika. Sebagai orang yang memulai karirnya dari bawah, Merton merasakan betul sulitnya menjadi orang yang paling bawah dalam struktur sosial. Merton menyadari kebebasan di Amerika atas mobilitas dan keterbukaan terhadap hal itu. Merton pun menyadari bahwa kemungkinan mobilitas yang lebih bebas boleh jadi dipengaruhi oleh demokrasi yang berkembang di masyarakat Amerika. Merton pun pernah merasakan satu masa yang disebut sebagai “great depression”, sehingga memunculkan sensitivitas Merton atas isu-isu sosial, diskriminasi rasial, kemiskinan, deviant dan anomie. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, pada saat Merton hidup penuh pergolakan atas perlawanan terhadap Nazi yang dibawa oleh Hitler, di mana Nazi secara brutal melakukan gonisida atas kaum Yahudi, berkobarnya Perang Dunia II, hingga keruntuhan komunis di Soviet, hal inilah yang membuat Merton, mengutip “brought him to a strong condemnation of totalitarianism”.
Merton boleh jadi sangat dipengaruhi oleh kejadian di dunia politik dan relevansi potensial dari ide-ide ilmiah dalam kehidupan, di mana hal ini dapat dilihat dari tulisannya mengenai peran intelektuan dalam birokrasi, tanggung jawab sosial pada ahli teknologi, dan peran aplikasi ilmu sosial dalam pengambilan kebijakan publik. Tentu saja kajian teoritis Merton yang bersifat praktis dan aplikatif seperti penyimpangan dan anomie, diskriminasi, pola-pola perkawinan, “mesin” politik dan birokrasi. Namun pengaruh yang paling terlihat terletak dalam lingkungan akademik yang ada di sekeliling Merton. Kehadiran Merton dapat dikatakan bertepatan dengan kebangkitan era renaisan sosiologi Amerika. Kehadiran Merton di tengah hiruk-pikuk perdebatan mengenai struktural-fungsional yang dikemukakan oleh Parson, yang memunculkan pertentangan sekaligus kritik dari banyak pihak. Hal ini rupanya turut menyeret Merton untuk turut andil, di samping fakta bahwa Parson merupakan orang yang berpengaruh besar dalam kehidupan Merton.

B) ALIRAN PEMIKIRAN DAN/ATAU TEORI YANG MEMPENGARUHI
Satu hal yang setidaknya dapat dipastikan, Merton sangat dipengaruhi oleh pemikiran Parson mengenai struktural-fungsional. Alih-alih memberikan pengaruh dengan hasil berupa dukungan, Merton justru memberikan kritik atas orang yang pemikirannya mempengaruhi dirinya. Tentu saja bukan hanya Parson yang memberikan pengaruh pada Merton. Bagi sekurangnya terdapat lima orang yang berpanguh besar terhadap corak pemikiran Merton, mereka adalah Durkheim, Marx, Simmel, dan Weber. Selain keempat nama tersebut juga harus disebutkan Parson, Sorokin, dan Sarton. Ketujuh nama ini memberikan andil yang cukup besar terhadap pemikiran Merton meskipun dengan kadar yang berbeda.
Barangkali Merton mendapatkan pengaruh yang cukup banyak dari aliran empirisme, di mana hal ini dapat dilihat dari kritik yang diajukan Merton terhadap tiga postulat dasar fungsionalisme pada awal perkembangan karirnya. Merton menyatakan bahwa ketiga postulat dasar itu tidak lebih dari imaji tingkat tinggi dari para pemikir kawakan, nonempiris dan hanya berdasarkan sistem teoritis abstrak. Model empirisme merupakan model yang mendasarkan diri pada pengamatan dan bukan sekedar utak-atik logika. Dalam kajian fungsionalisme-struktural misalnya, Merton berpendapat bahwa setiap objek yang menjadi sasaran analisis kajian memiliki pola dan berulang. Secara implisit Merton mengetengahkan suatu gagasan bahwa fungsionalisme-struktural bukanlah sesuatu yang abstrak sehingga tidak dapat dilihat melalui realitas empiris. Teori fungsionalisme-struktural yang dikritisi oleh Merton mengalami banyak perombakan dan perubahan, terutama dalam revisi postulat dasar.

C) MIDLLE RANGE THEORY
Merton mengajukan suatu argumentasi dasar bahwa suatu teori harusnya tidak terlalu jauh dari bumi, dan sebagai jalan keluar atas kesulitan teori fungsionalisme ala Parson, maka Merton mengembangkan suatu pendekatan teori tangah atau midlle range theory. Midlle range theory pada dasarnya berupaya untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan bukti empiris. Tentu saja hal ini mudah di mengerti, mengingat Merton mengkritisi para teoritis yang tidak memperhatikan bukti empiris, dan para peneliti yang hanya mengumpulkan data berupa bukti empiris tanpa memahami teori, midlle range theory dengan demikian dimaksudkan sebagai jembatan bagi para teoritisi dan peneliti.
Salah satu aspek penting dari model teori fungsionalisme-struktural ala Merton adalah pengaruh perbincangan yang hangat mengenai integrasi dan disintegrasi. Sebagaimana diketahui, Merton mengkritisi postulat dasar dari fungsionalisme yang berkembang dalam studi antropologi, di mana postulat ini berkeyakinan bahwa praktik kultural yang baku memiliki fungsi atau fungsional bagi masyarakat sebagai suatu kesatuan. Postulat lainnya yang juga dikritik oleh Merton adalah pandangan universalisme fungsional dan juga indespensability. Merton misalnya, memandang bahwa generalisasi mengenai kesatuan masyarakat hanya dapat terjadi dalam masyarakat dengan skala kecil, di mana generalisasi tersebut tidak dapat diterapkan pada masyarakat dengan struktur yang heterogen dan kompleks.
Di satu sisi, model fungsionalisme-struktural banyak memperbincangkan betapa fungsionalisme membentuk suatu integrasi sosial di masyarakat, namun di sisi yang lain, model yang dikembangkan oleh Merton juga banyak memberikan porsi bagi berkembangnya disintegrasi dalam masyarakat. Merton memberikan porsi yang cukup berimbang mengenai studi integrasi dan disintegrasi, meskipun pusat kajian yang dilakukan oleh Merton lebih bertendensi pada kajian integrasi sosial. Merton dalam beberapa kesempatan selalu menegaskan bahwa yang menjadi pusat studi fungsionalisme-struktural seperti pola sosial, peran sosial, pola institusional, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, dan lain-lain.
Load disqus comments

1 komentar: