Rabu, 14 Oktober 2009

PERBEDAAN ANTARA ILMU YANG ILMIAH DAN NON ILMIAH


-->
2.1 PENGERTIAN ILMU, PERBEDAAN ANTARA ILMU YANG ILMIAH DAN NON ILMIAH
Sebagaimana pendapat umum, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan, prinsip-prinsip mencari kebenaran, atau berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak terikat dengan tradisi, dogma agama) untuk memperoleh kebenaran. Kata ini berasal dai Yunani, Philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom)[1]. Sedangkan filsafat ilmu sebagaimana yang telah didefinisikan oleh The Liang Gie adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia[2].
Di sini kami memiliki beberapa definisi tentang ilmu, ilmu pengetahuan dan pengetahuan:
v Ilmu adalah susunan sistematik berdasarkan kaidah normatif tertentu terhadap keterampilan, pengertian, pemahaman ataupun pengetahuan[3]. The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin diketahui manusia[4].
Dalam berbagai literatur, penyusun menemukan bahwa ilmu itu sendiri terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Ilmu Pengetahuan (ilmu yang ilmiah) adalah ilmu yang diperoleh dan dikembangkan dengan mengolah atau memikirkan realita yang berasal dari luar diri manusia secara ilmiah, yakni dengan menerapkan Metode Ilmiah.
2. Ilmu pengetahuan dapat dirumskan sebagai berikut:
“Kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek/lapangan), yang merupakan kesatuan yang sistematis dan memberikan penjelasan yang sistematis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal/kejadian itu”[5].
3. Ilmu Non Pengetahuan adalah ilmu yang diperoleh dan dikembangkan secara sistematik terhadap kemampuan diri manusia ataupun terhadap ide di alam pikiran manusia secara deduktif dan analitik. Misalnya: pencak silat, bela diri, kebatinan, matematika dan sebagainya.
v Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek yang dihadapinya, hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Dengan kata lain, pengetahuan ialah realita dari luar diri manusia yang lalu dimengerti, dipahami dan diyakini kebenarannya. Tidak semua pengetahuan adalah ilmiah. Pengetahuan yang ilmiah itu tak lain ialah Ilmu Pengetahuan, sedangkan Pengetahuan yang Non Imiah seperti intuisi, metafisika dan wahyu ilahi tidak dapat diuji kebenarannya secara ilmiah. Kalau Ilmu Pengetahuan itu teruji secara ilmiah dan dikatakan kebenarannya sebagai kebenaran ilmiah, maka Intuisi dan Metafisika kebenarannya dikatakan meragukan. Sedangkan dengan wahyu Ilahi, kebenarannya adalah mutlak dan tidak memerlukan uji ilmiah bagi yang meyakininya.
Pengetahuan ilmiah adalah jenis pengetahuan yang diperoleh dan dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah atau dengan menerapkan cara kerja ataupun metode ilmiah.
Sedangkan yang dimaksud dengan metode ilmiah adalah prosedur atau langkah-langkah sistematis yang perlu diambil guna memperoleh pengetahuan yang didasarkan atas persepsi indrawi dan melibatkan uji coba hipotesis serta teori secara terkendali. Karena pengamatan indrawi biasanya mengawali maupun mengakhiri proses kerja ilmiah, maka cara kerja ilmiah sering juga disebut suatu lingkaran atau siklus empiris.
Berpangkal pada pengamatan kejadian-kejadian, baik dari pengalaman akan alam langsung atau dari hasil percobaan yang didesain, melalui induksi dapat dirumuskan hipotesis yang dapat menjelaskan persoalan yang dihadapi. Hipotesis diuji coba kebenarannya, bila terbukti benar dalam pelbagai pengujian dan ditemukan pola yang berulang, dapat dirumuskan hukum empiris dan bentuk universal. Kumpulan hukum yang serumpun dan tertata secara sistematis membentuk teori ilmiah. Berdasarkan teori yang sudah didukung bukti secara deduktif dapat diturunkan hipotesis baru dalam rumusan putusan universal. Berdasarkan hukum alam yang telah ditemukan dapat dibuat prediksi yang benar-salahnya akan diuji coba dalam suatu pengujian empiris. Metode ilmiah melibatkan perpaduan antara cara kerja induktif, deduktif dan abduktif.
Ilmu harus diusahakan dengan aktifitas manusia, aktifitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu dan akhirnya aktifitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Pengetahuan ilmiah mempunyai 5 (lima) ciri pokok sebagai berikut :
1. Empiris. Pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.
2. Sistematis. Berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur.
3. Objektif. Ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi.
4. Analitis. Pengetahuan ilmiah berusaha mebeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian-bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan dan peranan dari bagian-bagian itu.
5. Verifikatif. Dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.
Metode ilmiah adalah teknis untuk memperoleh pengetahuan baru, atau memperkembangkan pengetahuan yang ada, prosedur yang mencakup tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, untuk menghasilkan dan memperkembangkan pengetahuan yang ada.
Pencarian yang sistematis, peninjauan kembali pengetahuan yang telah ada merupakan prosedur yang biasa digunakan para ilmuan, biasa disebut dengan metode ilmiah. Ilmuan pada umumnya manusia biasa, ia juga bisa terjebak kedalam sikap pemujaan yang berlebihan terhadap metode, sikap yang demikian itu disebut dengan Metodolatri. Anggapan bahwa metode tujuan hakiki dari suatau proses ilmiah, namun kenyataannya metode merupakan suatu sarana untuk mendapati kebenaran ilmiah.
2.2 OBJEK-OBJEK ILMU PENGETAHUAN
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu, yang diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang (approach), metode (method) dan sistem tertentu. Jadi pengetahuan yang benar tentang objek itu tidak bisa dicapai secara langsung dan sifat daripadanya adalah khusus.
Ilmu pengetahuan ini diciptakan oleh manusia karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tidak berkesudahan terhdap objek, pikiran atau akal budi yang menyngsikan kesaksian indera karena indera dianggap sering menipunya. Kesangsian akal budi ini lalu diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan seperti apakah sesuatu itu? Mengapa sesuatu itu ada? Bagaimana keberadaannya? Dan apa tujuan keberadaannya itu? Masing-masing pertanyaan itu akan menghasilkan :
a. Ilmu pengetahuan filosofis yang mempersoalkan hakikat atau esensi sesuatu (pengetahuan universal).
b. Ilmu pengetahuan kausalistik, artinya selalu mencari sebab musabab keberadaannya (pengetahuan umum bagi suatu jenis benda).
c. Ilmu pengetahuan yang bersifat deskriptif-analitik, yaitu yang mencoba menjelaskan sifat-sifat umum yang dimiliki oleh suatu jenis objek.
d. Ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, yaitu yang mencoba memahami norma suatu objek yang dari sana akan tergambar tujuan dan manfaat objek.
Adapun objek pengetahuan itu ada yang berupa materi (objek materi) dan ada yang berupa bentuk (objek formal).
Dari suatu definisi tentang filsafat yang penyusun kutip dari satu buku, yang berbunyi:
“Filsafat adalah pengetahuan yang mempelajari sebab-sebab yang pertama atau prinsip-prinsip yang tertinggi dari segala sesuatu yang dicapai oleh akal budi manusia”.
Jelas yang menjadi objek materialnya (lapangannya) ialah sesuatu yang dipermasalahkan filsafat. Sedangkan objek formalnya (sudut pandangnya) ialah mencapai sebab-sebab yang terdalam dari segala sesuatu, sampai kepada penyebab yang tidak disebabkan , ada yang mutlak ada, yaitu penyebab pertama (causa prima) yaitu Allah itu sendiri[6].
Yang disebut objek materi adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau penelitian keilmuan. Adapun objek materi itu bisa saja berupa benda-benda material maupun yang non material. Bisa pula berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dan sebagainya. Objek materi tidak terbatas pada apakah ada di dalam realitas konkret atau di dalam realitas abstrak.
Suatu objek materi, -apakah yang material maupun yang non material- sebenarnya merupakan suatu substansi yang tidak begitu saja mudah diketahui. Lebih-lebih yang non material, sedangkan yang material pun sebagai suatu substansi mempunyai segi yang sulit dihitung dan ditentukan jumlahnya.
Kenyataan itu mempersulit usaha untuk memahami maknanya. Oleh karena itu, dalam rangka mengetahui maknanya, orang lalu melakukan pendekatan-pendekatan secara cermat dan bertahap menurut segi-segi yang dimiliki objek materi itu dan tentu saja menurut kemampuan seseorang. Cara pendekatan inilah yang kemudian dikenal sebagai “objek formal” atau cara pandang. Cara pandang ini berkonsentrasi pada satu segi saja sehingga menurut segi yang satu ini orang mendapat kejelasan. Dengan demikian, lalu tergambarlah lingkup suatu ilmu pengetahuan mengenai sesuatu hal menurut segi tertentu. Dengan kata lain, “tujuan” pengetahuan sudah ditentukan.
Ambillah contoh, objek materi “manusia” sendiri. Dari segi kejiwaan, keragaan, keindividualan, keosialan dan segi dirinya sebagai makhluk Tuhan, masing-masing menentukan lingkup dan wawasannya sendiri, wajarlah jika pengetahuan yang diperoleh juga berlainan.
Bagi ilmu pengetahuan, perbedaan pengetahuan yang dihasilkan oleh masing-masing segi itu justru harus seperti itu. Karena dengan demikian pengetahuan tentang manusia itu tadi bisa semakin lengkap dan jelas. Yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah justru jika tinjauannya berbeda, namun hailnya tetap sama. Hasil seperti itu jelas menunjukkan bahwa cara menentukan hal itu tidak benar. Hal ini selanjutnya jelas akan mempengaruhi tahapan-tahapan pendekatan berikutnya. Dalam keadaan demikian, terjadilah overlapping yang akan membuat kerancuan. Overlapping bukannya tidak perlu sama sekali, tetapi jika harus dilakukan maka seharusnya diposisikan sekedar sebagai referensi saja. Suatu pendekatan menurut segi tertentu seharusnya dilakukan secara sistematik dan konsisten sesuai dengan “benang merah” lingkupannya.
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa menurut objek formalnya, ilmu pengetahuan itu justru berbeda-beda dan banyak jenis serta sifatnya. Ada yang tergolong ilmu pengetahuan fisis (ilmu pengetahuan alam), karena pendekatan yang dilakukan menurut segi yang fisis. Ada pula yang tergolong ilmu pengetahuan non-fisis (ilm pengetahuan sosial dan humaniora serta ilmu pengetahuan ketuhanan), karena pendekatannya menurut segi kejiwaan. Golongan pertama termasuk ilmu pengetahuan yang bersifat kuantitatif, sedangkan golongan kedua merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat kualitatif[7].
2.3 SUMBER-SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berangkat dari tradisi pemikiran filsafat barat berawal dari abad ke 6 sebelum Masehi yang ditandai dengan runtuhnya mite dan dongeng yang selama ini dipercaya menjadi referensi pengetahuan manusia. Manusia mencari penjelasan tentang kejadian alam semesta melalui mite. Ada dua bentuk mite yang berkembang, yaitu Mite Kosmogenis yang mencari keterangan tentang asal-usul alam semesta dan Mite Kosmologis yang mencari asal-usul serta sifat kejadian alam semesta[8].
Ada beberapa sumber ilmu pengetahuan yang kita ketahui, yaitu kepercayaan yang berdasarkan tradisi, kebiasaan-kebiasaan dan agama, kesaksian orang lain, pancaindera (pengalaman), akal pikiran dan intuisi individual.
Ø Pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan menunjukkan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui cara mewarisi apa saja yang hidup dan berlaku dalam adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan kehidupan keagamaan. Biasanya, sumber ini sangat kaya akan kandungan pengetahuan berupa pandangan hidup sebagai norma-norma atau kaidah-kaidah untuk membentuk sikap, cara dan tingkah laku hidup. Dengan pengalaman, manusia dalam masyarakatnya bisa menyelenggarakan hidup secara bersama.
Tingkatan ini diperoleh dengan cara yang sangat sederhana tanpa menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode apapun. Pengetahuan ini diperoleh secara langsung, dengan serta-merta yang secara naluriah diterima begitu saja (receptive) tanpa memerlukan alasan, pembuktian dan pengujian akan kebenarannya.
Ø Lain daripada itu, ada pengetahuan yang bersumber dari kesaksian orang lain. Pengetahuan ini masih tetap dalam satu suasana dengan yang terdahulu. Orang-orang tertentu yang dapat dipercaya karena sudah dianggap memiliki pengetahuan yang benar, lalu menjadi panutan yang andal bagi orang-orang pada umumnya dalam hal-hal bagaimana memandang hidup dan bertingkah laku. Orang-orang itu seperti guru, ulama, cendekiawan, orang yang dituakan dan sebagainya.
Satu hal yang menjadi perhatian mengenai pengetahuan yang bersumber dari kesaksian orang lain adalah apakah orang itu dapat dipercaya atau tidak. Dalam artian bahwa apakah pengetahuan orang itu dihasilkan dari upaya pemikiran, penelitian atau penyelidikan yang cermat sehingga kebenarannya dapat diyakini ataukah tidak.
Ø Selanjutnya, bagaimanakah pengetahuan yang bersumber dari pancaindera? Pancaindera bagi manusia merupaka alat vital bagi penyelenggaraan kehidupan sehari-hari. Boleh dikatakan bahwa hampir seluruh persoalan hidup sehari-hari bisa diatasi dengan penggunaan alat pancaindera. Satu saja diantaranya tidak berfungsi, maka manusia akan berkurang pengetahuannya walaupun manusia itu masih bisa mengembangkan kehidupannya. Akan tetapi jika semua pancaindera itu tidak berfungsi, boleh jadi manusia masih bisa hidup walaupun jelas tidak bisa mengembangkan kehidupannya. Jika demikian, manusia hany akan hidup dengan insting atau nalurinya saja. Karena pada hakikatnya, aktifitas pancaindera manusia berkaitan erat dengan akal pikiran, perasaan dan kemauan (tri potensi kejiwaan).
Daya kemampuan pancaindera dalam kegiatan mengetahui memang sangat terbatas. Hal ini berarti belum ada kemampuan untuk menangkap pengetahuan yang sebenarnya. Pada setiap barang atau hal, di alam dirinya sendiri mengandung pengetahuan yang nampak (appreance) dan pengetahuan yang sebenarnya (actual). Dengan pancaindera kita mendapatkan pengetahuan berupa gejala-gejala. Oleh sebab itu, kita sering tertipu dalam bersikap dan bertingkah laku.
Namun pengetahuan inderawi ini tidak boleh diabaikan sama sekali. Terutama sumbangannya kepada penyelenggaraan kehidupan sehari-hari dan eksplorasi pengetahuan selanjutnya dalam rangka memperoleh kebenaran yang valid.
Sebenarnya, pengetahuan inderawi adalah potensi bagi pengetahuan yang bersumber dari akal pikiran. Berbeda dengan pancaindera, akal pikiran ini bersifat spiritual. Akal pikiran cenderung untuk menangkap pengetahuan umum yang tetap dan tidak berubah-ubah terhadap suatu barang atau hal-hal yang menggejala di dalam jenis, bentuk dan sifat yang berubah-ubah dan beraneka ragam.
Ø Bagi akal pikiran, apa yang diketahui oleh pancaindera itu hanyalah sekedar “bahan mentah” yang perlu dibentuk menjadi suatu sistem sehinggamenjadi “konsep” atau “prinsip” yang merupakan sebuah pengetahuan umum. Pengetahuan yang bersumbe dai akal pikiran ini pada umumnya diakui sebagai pengetahuan yang lebih benar, lebih jelas dan pasti.
Ø Sumber pengetahuan terakhir adalah intuisi. Pada diri manusia, intuisi menempati bagian kejiwaanyang sangat sentral sehingga benar-benarbersifat batiniyah sekali. Dengan kata lain, intuisi merupakan gejala batin yang sangat pribadi.
Sebagai sumber ilmu pengetahuan, intuisi memperoleh pengetahuan secara langsung tetapi jelas dan pasti bagi orang tertentu. Namun demikian, apa yang diketahui secara intuitif bagi seseorang belum tentu sama bagi orang lain. Artinya, cara seseorang mendapatkan pengetahuan yang pasti itu tidak/belum tentu bisa berlaku bagi orang lain. Jika dengan tiba-tiba seseorang tergerak untuk melakukan perbuatan tertentu dengan penuh keyakinan, maka itulah dunia intuisi.
Jika dilihat secara menyeluruh, sumber-sumber pengetahuan tersebut selaras benar dengan proses mendapatkan pengetahuan yang benar. Pada saat orang mengagumi sesuatu, ia cenderung menerima secara langsung pengetahuan yang diberikan oleh oleh kepercayaan dan kesaksian orang lain. Tetapi, ketika seseorang mulai menggunakan alat indera untuk mendapatkan pengetahuan, maka ia mulai meragukan pengetahuan yang bersumber dari kedua sumber tersebut. Ketika akal pikiran digunakan, maka seseorang telah meninggalkan keraguan dan sudah memiliki perkiraan dan pendapat. Kemudian, sumber intuisi juga merupakan pengetahuan meyakinkan yang mempunyai relevansi dengan keyakinan sebagai akibat dari pengetahuan yang pasti[9].
Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham apa yang telah kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang mendasarkan diri pada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Paham dikenal dengan idealisme.
Masalah utama yang timbul dari cara berpikir ini adalah mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Jadi masalah utama yang dihadapi oleh kaum rasionalis adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebeb itu, maka lewat penalaran rasional yang akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai satu objek tertentu tanpa adanya konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional cenderung untuk bersifat solipsisitik (hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berada dalam benak orang yang berpikir tersebut) dan subjektif.
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang kongkret. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia. Gejala itu kalau kita telaah lebih lanjut mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu.
Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini ialah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif[10].


[1]M. Zainuddin, Filsafat Ilmu, Perspektif Pandangan Islam (Malang : Banyumedia Publishing, 2003), hal. 23.
[2] Surajiyo , Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta : Bumi Aksara, 2005), hal. 64.
[3]Peter Soedojo, Pengantar Sejarah dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2004), hal. 33.
[4]Surajiyo, op.cit., hal. 62.
[5] Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), hal. 15.
[6] Burhanuddin Salam, Ibid., hal. 3.
[7] Peter Soedojo, op.cit., hal. 70-72.
[8] Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia Kajian Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 2002), hal. 83.
[9] Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal. 59-64. Dengan sedikit perubahan.
[10] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 2001), hal. 51-54.
Load disqus comments

0 komentar