Sabtu, 06 Agustus 2011

Komponen Strategi Pembelajaran


 Pembelajaran merupakan suatu sistem instruksional yang mengacu pada seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan. Selaku suatu sistem, pembelajaran meliputi suatu komponen, antara lain tujuan, bahan, peserta didik, guru, metode, situasi, dan evaluasi. Agar tujuan itu tercapai, semua komponen yang ada harus diorganisasikan sehingga antarsesama komponen terjadi kerja sama. Oleh karena itu, guru tidak boleh hanya memperhatikan komponen-komponen tertentu saja misalnya metode, bahan, dan evaluasi saja, tetapi ia harus mempertimbangkan komponen secara keseluruhan.
Guru
Guru adalah pelaku pembelajaran, sehingga dalam hal ini guru merupakan faktor yang terpenting. Di tangan gurulah sebenarnya letak keberhasilan pembelajaran. Komponen guru tidak dapat dimanipulasi atau direkayasa oleh komponen lain, dan sebaliknya guru mampu memanipulasi atau merekayasa  komponen lain menjadi bervariasi. Sedangkan komponen lain tidak dapat mengubah guru menjadi bervariasi. Tujuan rekayasa pembelajaran oleh guru adalah membentuk lingkungan peserta didik supaya sesuai dengan lingkungan yang diharapkan dari proses belajar peserta didik, yang pada akhirnya peserta didik memperoleh suatu hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu, dalam merekayasa pembelajaran, guru harus berdasarkan kurikulum yang berlaku.
Peserta didik
Peserta didik merupakan komponen yang melakukan kegiatan belajar untuk mengembangkan potensi kemampuan menjadi nyata untuk mencapai tujuan belajar. Komponen peserta ini dapat dimodifikasi oleh guru.
Tujuan
Tujuan merupakan dasar yang dijadikan  landasan untuk menentukan strategi, materi, media dan evaluasi pembelajaran. Untuk itu, dalam strategi pembelajaran, penentuan tujuan merupakan komponen yang pertama kali harus dipilih oleh seorang guru, karena tujuan pembelajran merupakan target yang ingin dicapai dalam kegiatan pembelajaran.

Bahan Pelajaran
Bahan pelajaran merupakan medium untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berupa materi yang tersusun secara sistematis dan dinamis sesuai dengan arah tujuan dan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan tuntutan masyarakat. Menurut Suharsimi (1990) bahan ajar merupakan komponen inti yang terdapat dalam kegiatan pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran
Agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara optimal, maka dalam menentukan strategi pembelajaran perlu dirumuskan komponen kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan standar proses pembelajaran.
Metode
Metode adalah satu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Penentuan metode yang akan digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya pembelajaran yang berlangsung.
Alat
Alat yang dipergunakan dalam pembelajran merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Dalam proses pembelajaran alat memiliki fungsi sebagai pelengkap untuk mencapai tujuan. Alat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu alat verbal dan alat bantu nonverbal. Alat verbal dapat berupa suruhan, perintah, larangan dan lain-lain, sedangkan yang nonverbal dapat berupa globe, peta, papan tulis slide dan lain-lain.
Sumber Pembelajaran
Sumber pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat atau rujukan di mana bahan pembelajaran bisa diperoleh. Sehingga sumber belajar dapat berasal dari masyarakat, lingkungan, dan kebudayaannya, misalnya, manusia, buku, media masa, lingkungan, museum, dan lain-lain.


Evaluasi
Komponen evaluasi merupakan komponen yang berfungsi untuk mengetahui apakah tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai atau belum, juga bisa berfungsi sebagai sebagai umpan balik untuk perbaikan strategi yang telah ditetapkan. Kedua fungsi evaluasi tersebut merupakan evaluasi sebagai fungsi sumatif dan formatif.
Situasi atau Lingkungan
Lingkungan sangat mempengaruhi guru dalam menentukan strategi pembelajaran. Lingkungan yang dimaksud adalah situasi dan keadaan fisik (misalnya iklim, madrasah, letak madrasah, dan lain sebagainya), dan hubungan antar insani, misalnya dengan teman, dan peserta didik dengan orang lain. Contoh keadaan ini misalnya menurut isi materinya seharusnya pembelajaran menggunakan media masyarakat untuk pembelajaran, karena kondisi masyarakat sedang rawan, maka diubah dengan menggunakan metode lain, misalnya membuat kliping.
Komponen-komponen strategi pembelajaran tersebut akan mempengaruhi jalannya pembelajaran, untuk itu semua komponen strategi pembelajaran merupakan faktor yang berpengaruh terhadap strategi pembelajaran. Untuk lebih mempermudah menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap strategi pembelajaran, komponen strategi pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: peserta didik sebagai raw input, entering behavior peserta didik, dan instrumental input atau sasaran.
Peserta Didik Sebagai Raw Input.
Strategi pembelajaran digunakan dalam rangka membelajarkan peserta didik. Untuk itu dalam pembelajaran seorang guru harus memperhatikan siapa yang dihadapi. Peserta didik pada tingkat sekolah yang sama cenderung memiliki umur yang sama, sehingga perkembangan intelektual pada umumnya adalah sama. Dipandang dari kesamaan ini, maka seorang guru dapat menggunakan metode atau teknik yang sama dalam membelajarkan peserta didik. Namun demikian di samping persamaan tersebut, peserta masih mempunyai perbedaan-perbedaan walaupun pada umur yang relatif sama.
Perbedaan peserta didik tersebut dari segi fisiologisnya adalah pendengaran, penglihatan, kondisi fisik, juga perbedaan dari segi psikologisnya. Perbedaan segi psikologis tersebut antara lain adalah IQ, bakat, motivasi, minat/perhatian, kematangan, kesiapan, dan masih banyak lagi. Kondisi-kondisi tersebut sangat mempengaruhi peserta didik dalam belajar. Untuk itu, dalam menentukan strategi pembelajaran harus diperhatikan hal-hal di atas.
Pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam menghadapi heterogenitas peserta dalam kelas yang sama adalah seorang guru disarankan untuk menggunakan multimetode dan multimedia. Hal ini disebabkan masing-masing metode dan media mempunyai kelebihan dan kekurangan, dan dimungkinkan masing-masing peserta didik akan mempunyai kecenderungan tertarik pada metode dan media tertentu.
Entering Behavior Peserta Didik
Seorang pendidik untuk dapat menentukan strategi pembelajaran yang sesuai  terlebih dahulu harus mengetahui  perubahan perilaku, baik secara material-subtansial, struktural-fungsional, maupun secara behavior peserta didik. Misalnya, apakah tingkat prestasi yang dicapai peserta didik itu merupakan hasil kegiatan belajar mengajar yang bersangkutan?. Untuk kepastiannya seharusnya guru mengetahui tentang karakteristik perilaku peserta didik saat mereka mau masuk sekolah dan saat kegiatan belajar mengajar dilangsungkan, tingkat dan jenis karakteristik perilaku peserta didik yang dimilikinya ketika mau mengikuti kegiatan belajar mengajar. Itulah yang dimaksudkan dengan entering behavior peserta didik.
Entering bahavior akan dapat diidentifikasi dengan cara sebagai berikut:
  • Secara tradisional, telah lazim para guru mulai dengan pertanyaan mengenai bahan yang pernah diberikan sebelum menyajikan bahan baru.
  • Secara inovatif, guru tertentu di berbagai lembaga pendidikan yang memiliki atau mampu mengembangkan instrumen pengukuran prestasi belajar dengan memenuhi syarat, mengadakan pretes sebelum mereka mulai mengikuti program belajar mengajar.
Pola-pola Belajar Peserta Didik
Mengetahui pola belajar peserta didik adalah modal bagai seorang guru untuk menentukan strategi pembelajaran. Robert M. Gagne (1979) membedakan pola-pola belajar peserta didik ke dalam delapan tipe, yang tiap tipe merupakan prasyarat bagi lainnya yang lebih tinggi hierarkinya. Delapan tipe belajar dimaksud adalah: 1) signal , (belajar isyarat), 2) stimulus-response learning (belajar stimu­pons), 3) chaining (rantai atau rangkaian), 4) verbal association,(asosiasi verbal), 5) discrimination learning (belajar diskriminasi), 6) concept learning (belajar konsep), 7) rule learning (belajar aturan), problem solving (memecahkan masalah).
Kedelapan tipe belajar sebagaimana disebutkan di atas akan dijelaskan satu per satu secara singkat dan jelas sebagai berikut.
Belajar Tipe 1: Signal Learning (Belajar Isyarat)
Belajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Jadi, tidak ada persyaratan, namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk menuju jenjang belajar yang paling tinggi. Signal learning dapat diartikan sebagai penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat involuntary ( tidak sengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak dan  perangsang-perangsang tertentu secara berulang kali. Signal learning. Ini mirip dengan conditioning menurut Pavlov yang timbul setelah sejumlah pengalaman tertentu. Respon yang timbul bersifat umum dan emosional selain timbulnya dengan tidak sengaja dan tidak dapat dikuasai. Contoh: Aba-aba “Siap!” merupakan suatu signal atau isyarat mengambil sikap tertentu. Melihat wajah ibu menimbulkan rasa senang. Wajah ibu di sini merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan senang itu. Melihat ular yang besar menimbulkan rasa takut. Melihat ular merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan tertentu.
Belajar Tipe 2: Stimulus-Respons Learning (Belajar Stimulus­-respon)
Bila tipe di atas digolongkan dalam jenis classical condition, maka belajar 2 ini termasuk ke dalam instrumental conditioning atau belajar dengan trial and error (mencoba-coba). Proses belajar bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor inforcement. Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat reinforce­ment.
Contoh: Anjing dapat diajar “memberi’ salam”.dengan mengangkat kaki depannya bila kita katakan “Kasih tangan! ” atau “Salam “. Ucapan `kasih tangan’ merupakan stimulus yang menimbulkan respons `memberi’ salam’ oleh anjing itu.
Belajar Tipe 3: Chaining (Rantai atau Rangkaian)
Chaining adalah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R (Stimu­lus-Respons) yang satu dengan yang lain. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforce­ment tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.
Contoh: Dalam bahasa kita banyak contoh chaining seperti ibu-bapak, kampung-halaman, selamat tinggal, dan sebagainya. Juga dalam perbuatan kita banyak terdapat chaining ini, misalnya pulang kantor, ganti baju, makan malam, dan sebagainya. Chain­ing terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang terjadi segera setelah yang satu lagi. Jadi berdasarkan hubungan conntiguity).
Belajar Tipe 4. Verbal Association (Asosiasi Verbal)
Baik chaining maupun verbal association, yang kedua tipe belajar ini,  menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan lain. Bentuk verbal association yang paling sederhana adalah bila diperlihatkan suatu bentuk geometris, dan si anak dapat mengatakan “bujur sangkar”, atau mengatakan “itu bola saya”, bila melihat bolanya. Sebelumnya, ia harus dapat membedakan bentuk geometris agar dapat mengenal `bujur sangkar’ sebagai salah satu bentuk geometris, atau mengenal ‘bola’, `saya’, dan ‘itu’. Hubungan itu terbentuk, bila unsur­nya terdapat dalam urutan tertentu, yang satu segera mengikuti satu lagi (conntiguity).
Belajar Tipe 5: Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)
Discrimination learning atau belajar membedakan. Tipe ini peserta didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara­ perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respons yang dianggap paling sesuai. Kondisi utama berlangsung proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai pola aturan melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R)
Contoh:. Guru mengenal peserta didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak ­itu. Diskriminasi didasarkan atas chain. Anak misalnya harus mengenal mobil tertentu berserta namanya. Untuk mengenal model lain diadakannya chain baru  dengan kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satunya lagi. Makin banyak yang dirangkaikan, makin besar kesulitan yang dihadapi, karena kemungkinan gangguan atau interference itu, dan kemungkinan suatu chain dilupakan.
Belajar Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep)
Concept learning adalah belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep. Kondisi utama yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamen­tal sebelumnya.
Belajar konsep dapat dilakukan karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Manusia dapat melakukannya tanpa batas berkat bahasa dan kemampuannya mengabstraksi. Dengan menguasai konsep, ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut warna, bentuk, besar, jumlah, dan sebagainya. la dapat menggolongkan manusia menurut hubungan keluarga, seperti bapak, ibu, paman, saudara, dan sebagainya; menurut bangsa, pekerjaan, dan sebagainya. Dalam hal ini, kelakuan manusia tidak dikuasai oleh stimulus dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk yang abstrak. Misalnya kita dapat menyuruh peserta didik dengan perintah: “Ambilkan botol yang di tengah! ” Untuk mempelajari suatu konsep, peserta didik harus mengalami berbagai situasi dengan stimulus tertentu. Untuk itu, ia harus dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk konsep itu. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.
Belajar Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan)
Rule learning belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini peserta didik belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif, dedukatif, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga peserta didik dapat menemukan konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dipandang sebagai “rule “: prinsip, daliI, aturan, hukum, kaidah, dan sebagainya.
Belajar Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan Masalah)
Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini para peserta didik belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Belajar memecahkan masalah itu berlangsung sebagai berikut: Individu menyadari masalah bila ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya semacam kesulitan. Langkah-langkah yang memecahkan masalah, adalah sebagai berikut:
Merumuskan dan Menegaskan Masalah
Individu melokalisasi letak sumber kesulitan, untuk memungkinkan mencari jalan pemecahannya. la menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan menggunakan prinsip atau dalil serta kaidah yang diketahuinya sebagai pegangan.
Mencari Fakta Pendukung dan Merumuskan Hipotesis
Individu menghimpun berbagai informasi yang relevan termasuk pengalaman orang lain dalam menghadapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian mengidentifikasi berbagai alternatif kemungkinan pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai pertanyaan dan jawaban sementara yang memerlukan pembuktian (hipotesis).
Mengevaluasi Alternatif Pemecahan yang Dikembangkan
Setiap alternatif pemecahan ditimbang dari segi untung ruginya. Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang paling mungkin (feasible) dan menguntungkan.
Mengadakan Pengujian atau Verifikasi
Mengadakan pengujian atau verifikasi secara eksperimental alternatif pemecahan yang dipilih, dipraktikkan, atau dilaksanakan. Dari hasil pelaksanaan itu diperoleh informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya yang telah dirumuskan.

Instrumental Input atau Sasaran
Instrumental input menunjukkan kualifikasi serta kelengkapan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pembelajaran. Yang termasuk dalam instrumental input antara lain guru, kurikulum, bahan/sumber, metode, dan media.
Keberadaan instrumental input ini sangat mempengaruhi dalam menentukan strategi pembelajaran. Misalnya secara teoritis, dipandang dari tujuannya maka suatu materi harus disajikan dengan menggunakan metode laboratorium, namun karena tidak adanya media di sekolah tersebut, maka diganti dengan metode demonstrasi atau yang lainnya.
Strategi pembelajaran yang dterapkan oleh guru akan selalu bergantung pada  sasaran atau tujuan. Tujuan itu bertahap dan berjenjang mulai dari yang sangat operasional dan  konkrit, yakni Tujuan Instruksional Khusus dan Tujuan Instruksional Umum, tujuan kurikuler, tujuan nasional, sampai kepada tujuan yang bersifat universal.
Persepsi guru atau persepsi anak didik mengenai sasaran akhir kegiatan pelajaran  akan mempengaruhi persepsi mereka terhadap sasaran-antara serta sasaran-kegiatan. Sasaran itu harus diterjemahkan ke dalam ciri-ciri perilaku kepribadian yang didambakan tersebut harus memiliki kualifikasi: a) pengembangan bakat secara, optimal, b) hubungan antarmanusia, c) efisiensi ekonomi, dan d) tanggung jawab warga selaku warga negara.
Pandangan hidup para guru maupun peserta didik akan turut mewarnai berkenaan dengan gambaran karakteristik sasaran manusia idaman. Konsekuensinya akan mempengaruhi juga kebijakan tentang perencanaan, pengorganisasian, serta  penilaian terhadap kegiatan belajar mengajar.
Enviromental Input ( Lingkungan).
Lingkungan sangat mempengaruhi guru di dalam menentukan strategi belajar- mengajar. Lingkungan yang dimaksud adalah situasi dan keadaan fisik (misalnya iklim, sekolah, letak sekolah, dan lain sebagainya), dan hubungan antar insani, misalnya dengan teman, dan peserta didik dengan orang lain. Contoh keadaan ini misalnya seharusnya menurut isi materinya seharusnya menggunakan media masyarakat untuk pembelajaran, karena kondisi masyarakat sedang rawan, maka diubah dengan menggunakan metode lain, misalnya membuat kliping.
Proses belajar mengajar adalah suatu aspek dari lingkungan sekolah yang diiorganisasi. Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai dengan tujuan pendidikan. Pengawasan itu turut menentukan lingkungan dalam membantu kegiatan belajar. Lingkungan belajar yang baik adalah lingkungan yang menantang dan merangsang para peserta didik belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan serta mencapai tujua yang diharapkan. Salah satu faktor yang mendukung kondisi belajar  di dalam suatu kelas adalah job description proses belajar mengajar yang berisi serangkaian pengertian peristiwa belajar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok peserta didik. Sehubungan dengan hal ini, job description guru dalam implementasi proses belajar- mengajar sebagai berikut.
  • · Perencanaan instruksional, yaitu alat atau media untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan organisasi belajar.
  • Organisasi belajar yang merupakan usaha menciptakan wadah dan fasilitas-fasilitas atau lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan yang mengandung kemungkinan terciptanya proses belajar mengajar. Menggerakkan anak didik yang merupakan usaha memancing, membangkitkan, dan mengarahkan motivasi belajar peserta didik.
  • Supervisi dan pengawasan, yakni usaha mengawasi, menunjang, manbantu, mengaskan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan perencanaan instruksional yang telah didesain sebelumnya.
  • Penelitian yang lebih bersifat penafsiran penilaian yang mendukung pengertian  lebih luas dibanding dengan pengukuran atau evaluasi pendidikan.
Load disqus comments

0 komentar