Sabtu, 18 Juni 2011

Bebas Nilai


Bebas Nilai
Bagaimana kita mengetahui nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang haruslah bebas dalan menentukan topic penelotiannya, bebas dalam melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuananya. Ketik seoraang ilmuwa bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya and tujuan agar proses penelitianya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utmanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adapt, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnyadengan kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakah berkah dan penyelamat bagi manusia, tebebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan sengsara? Memang dengan jalan mempelajari teknologi seperti pembuatan bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka.[1] Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuwan harus berpaling ke hakikat moral? Bahwa ilmu itu berkaitan erat dengan persoalan nilai-nilai moral (agama) sebenarnya sudah terbantahkan keyika Copernicus mengemukakan teorinya “bumi uang berputar mengeliliongi matahari” sementara ajaran agama menilai sebaliknya, maka timbulah interaksi antara ilmu dengan moral yang berkonotasi metafisik, sedangkan dipihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan pada pernyatan-pernyataan yang terdapat dalm ajaran-ajaran diluar bidang keilmuwan, diantaranya agama. Timbulah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini, yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo, yang oleh pengadilan dipaksa mencabut pertanyaannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama selama kurang lebih dua setengah abad memepengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu ini, para ilmuwan berjuang untuk menegakan ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan “ilmu yang bebas nilai”, setelah pertarungan itulah ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu. Artinya kebebasan dalam melakukan penelitiannya dalam mempelajari alam sebagaimana adanya.[2]
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu social harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu social harus menjadi nilai-nilai yang relevan (value-relevant). Weber tiak yakin ketika para ilmuwan social melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai biang ilmu social itu mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan tertentu atau tidak biasa. Nilai-nilai itu harus diimplakisikasikan bagian-bagian praktis ilmu social jika praktek itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir orang, budaya, molar atau politik yang mengatasi  hal-hal lainnya, maka ilmuwan social tidak beralasan mengajarkan atau menuliskan itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektiv ilmiah.[3] Webwer sendiri mengatakan sebagaimana yang disitir oleh Michael Root sebagai berikut.[4]
“Prsoalapersoalan disiplin ilmu empiric adalah bahwa ia dipecahkan, bukan secara evaluatif. Mereka bukankah persoalan evaluasi, tetapi persoaln-persoalan ilmu social dipilih atau ditentukan melalaui nilai yang relevan dari fenomena yang ditampilkan. Ungkapan ‘relevansi pada nilai-nilai’ (relevance to values) mengacu pada interprestasi filosofis dari kepentingan ilmiah yang bersifat khusus, kepentingan-kepentingan tersebut menentukan pilihan dari pokok masalah dan persoalan-persoalan analisis empiris yang diajukan”.
Istilah “relevansi pada nilai-nilai” yang diajukan oleh Weber mengacu pada nilai-nilai yang diajukan para ilmuwan social sebagai suatu alas an untuk mendukung suatu persoalan atau studi guna mengatasihal lainnaya: tetapi nilai-nilai itu sendiri tidak diperlukan oleh para ilmuwan itu sendiri. Sebagai contoh: beberapa psikolog di Universitas Minnesota mempelajari hubungan antara intelegensi dan factor gen, tetapi tidak punya kepentingan dengan bidang eugenetika. Dipihak lain perdana menteri Singapura berkepentingan dan sangat mendukung stusi tersebut, karena ia percaya temukan para pakar psikologi itu sangat relevan  dengan rencananya untuk mempromosikan mengenai bidang eugenetika di negaranya.
Perlu dirumuskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan bebas nilai (value free) itu. Josep Situmorang[5]  menyatakan bahwa bebas nilai adalah tuntutan terhadap setuap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan factor eksternal yang tidak secar hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Palig tidak ada tiga factor sebagai indicator bahwq ailmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu:
Pertama, ilmu harus bebas dari pengandaian-pengandaian yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti: factor politis, ideology, aagma, bydaya, dan unsure kenasyarakatan lainya. Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamian. Kebebasan itu menyangkut kemungkunan yang tersedia dan penentuan diri. Ketiga, penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai itu sendiri bersifat universal.
Indikator pertama dan kedua menunjukan para ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah, sedangkan indicator kedua menunjukan adnya factor-X yang tidak terhindarkan dalam perkembangan ilmu, yaitu pertimbangan etis (ethical Judgement). Hampir dipastikan bahwa mustahil bagi para ilmuwan untuk menafikan peertimbangan etis ini, karena setiap ilmuwan memiliki hati nurani sebagai insitusi moral terkecil yang ada dalam dirinya sendiri.
Indicator lain yang dicoba hindari oleh kebanyakan ilmuwan, namun kehadiranya sangat sulit ditolak adalah kekuasaan. Kekuasaan memainkan peranan besar daalam perkembangan ilmu-baik secara langsung atau tidak-karena para ilmuwan sulit untuk memancangkan bendera otonomi ilmiah di dalam suatu Negara yang meletakan suaty kekuasaan sebagai factor yang dominant dalam mengambil suati kebijakan. Kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara kedua belah pihak-ilmuwan dengan klaim kebenaran (truth claim-nya) sedang penguasa dengan klaim kewenangan (authority claim) berpeluang besar untuk terjadi. Dinegara-negara yang sedang berkenbang konflik itu hamper dapat dipastikan dimenangkan oleh pemegang kekuasaan, karena para otoritas ilmuwan hanya sebatas lingkup akademik yang terletak dalamlingkup yang lebih besar, yakni kekuasaan (otoritas politik).



[1] Burhanuddin Salam, op.cit., hal. 172.
[2] Jujun S. Suriasumantri, op.cit., hal. 233.
[3] Hatta. 1979, hal. 17-23.
[4] Ali kettani, 1984, hal. 85
[5] Slamet Imam Santoso, 1997, hal 65.
Load disqus comments

0 komentar